Beranda | Artikel
Pentingnya Ilmu Sanad dalam Menjaga Keotentikan Hadits
Senin, 2 Desember 2024

Pentingnya Ilmu Sanad dalam Menjaga Keotentikan Hadits adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 26 Jumadil Awal 1446 H / 28 November 2024 M.

Kajian Islam Tentang Pentingnya Ilmu Sanad dalam Menjaga Keotentikan Hadits

Betapa mulia dan terhormat ketika kita dapat mempelajari apa yang diperjuangkan oleh para ulama hadits pada masa awal generasi riwayat. Mereka meneliti dan berusaha menerima hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya dari orang-orang yang berhak diterima. Ketika ada orang-orang yang tidak pantas untuk dipelajari ilmunya, mereka hargai keshalihannya, akan tetapi ilmu ini memiliki para pejuang dan pahlawan.

Imam Ahmad Rahimahullah, ketika ditanya, “Mana yang lebih engkau sukai antara shalat, puasa, atau membahas sanad hadits?” Beliau menjawab:

“Jika aku shalat dan puasa, manfaatnya hanya untuk diriku sendiri. Namun, jika aku berbicara tentang para periwayat hadits—apakah mereka lemah atau tidak, dan apakah mereka layak untuk dipelajari ilmunya atau tidak—manfaatnya untuk kaum muslimin.”

Dari jawaban ini terlihat betapa besar jasa para ulama kepada umat. Mereka mempelajari para periwayat sehingga hadits-hadits dapat dinikmati dan diamalkan oleh kaum muslimin tanpa kekhawatiran. Ketika suatu hadits dinyatakan shahih oleh ahlinya, kita dapat dengan yakin mempraktikkan isi kandungannya.

Apa Itu Sanad?

Sanad adalah rangkaian atau rantai jalur periwayatan hadits yang bersambung dari seorang periwayat, gurunya, hingga kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Keotentikan sebuah berita atau informasi dapat dipastikan ketika orang-orang yang menyampaikannya adalah pribadi yang terpercaya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita cenderung percaya pada berita yang disampaikan oleh seseorang yang kita ketahui kejujuran dan amanahnya, terlebih jika berita itu berasal dari sumber yang valid. Begitu pula dalam agama, para ulama tidak main-main dalam menyampaikan sebuah riwayat, karena hal itu berkaitan langsung dengan wahyu. Ketika seseorang menyampaikan sanad, berarti dia sedang mempertaruhkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Oleh karena itu, konsep ilmu hadits menegaskan bahwa rangkaian periwayat harus diisi oleh orang-orang yang kompeten dan dapat diterima periwayatannya.

Kriteria Hadits Shahih dan Pentingnya Sanad

Dalam ilmu mustalahul hadits, hadits shahih adalah hadits yang memenuhi beberapa kriteria:

  1. Diriwayatkan oleh orang yang adil, yaitu orang yang agamanya dapat diterima, dipercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan.
  2. Hafalannya kuat, sehingga mampu menyampaikan hadits dengan akurat tanpa perubahan atau kesalahan.
  3. Sanadnya bersambung, yaitu rangkaian periwayatan dari seorang murid kepada gurunya dan seterusnya, tanpa adanya jeda. Kesinambungan ini memastikan kemungkinan pertemuan langsung atau melalui usia yang memungkinkan periwayatan.
  4. Tidak ada cacat dalam periwayatan, baik yang tampak jelas maupun tersembunyi.

Sanad adalah rangkaian yang sangat penting dalam menjaga keotentikan hadits. Ketika periwayatan semakin jauh dari masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jumlah pembawa informasi pun bertambah. Hal ini menuntut para ulama untuk semakin berhati-hati dalam memeriksa sanad, terlebih pada masa yang penuh dengan huru-hara, kepentingan pribadi, dan banyaknya orang yang kehilangan amanah.

Sikap Ibnu Abbas terhadap Hadits

Dikisahkan bahwa Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma pernah mendengar seorang tabi’in bernama Busairi bin Ka’b Al-Adawi berbicara tentang hadits di hadapannya. Namun, Ibnu Abbas sengaja tidak mendengarkan. Hal ini dilakukan untuk memberikan pelajaran bahwa tidak mudah bagi seseorang untuk menyampaikan hadits. Penyampaian hadits memerlukan pemeriksaan yang ketat dan kehati-hatian luar biasa.

Ketika Busairi merasa Ibnu Abbas sengaja tidak mendengarkan haditsnya, ia bertanya, “Kenapa engkau tidak mendengarkan? Aku menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada engkau.”

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma menjawab:

“Dahulu, apabila kami mendengar seseorang berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,’ maka mata kami akan segera tertuju kepada orang itu, dan pendengaran kami sepenuhnya tercurah untuknya. Namun, ketika orang-orang mulai tidak peduli dengan sumber hadits, ketika mereka menyampaikan apa saja yang mereka dengar tanpa memeriksa kebenarannya, kami pun mulai berhati-hati. Kami tidak mudah melihat, mendengar, atau mempelajari hadits dari seseorang, kecuali jika orang itu terpercaya dan pantas dijadikan guru.”

Pada zaman para sahabat, kehati-hatian mereka dalam mempelajari riwayat menjadi teladan penting. Ketika fitnah mulai banyak terjadi, mereka tetap disiplin dalam memastikan kebenaran riwayat. Ini menunjukkan bahwa dalam beragama, kehati-hatian dalam memilih sumber dan referensi adalah hal yang sangat penting. Betapa banyak orang tersesat meski niatnya baik, tetapi karena referensinya tidak dapat dipertanggungjawabkan, akhirnya ia ikut tersesat bersama orang yang mengajarkan kesalahan.

Sanad merupakan salah satu cara Allah menjaga agama ini. Para ulama dahulu selalu bertanya, “Mana sanadnya?” sebelum menerima sebuah hadits. Hal ini menjadi ciri khas umat Islam, berbeda dengan umat nabi-nabi sebelumnya. Abu Hatim Ar-Razi Rahimahullah, yang wafat pada tahun 277 Hijriah, berkata:
“Tidak pernah ada suatu tatanan masyarakat atau umat dari sekian umat yang Allah ciptakan, yang menjaga sabda nabi mereka, kecuali umat Islam.”

Umat ini menjaga sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga hadits-hadits beliau terjaga. Jika kita mempelajari sejarah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kita akan mendapati bahwa para ulama generasi abad ketiga Hijriah menyampaikan hadits dengan sanad. Misalnya, sirah Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Asy-Syamail Muhammadiyah karya At-Tirmidzi, dan berbagai riwayat lain yang ditulis dalam buku-buku ulama. Riwayat-riwayat sirah Nabi ini memiliki sanad yang tersambung hingga kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melalui orang-orang terpercaya yang biografinya dikenal.

Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh umat selain umat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah Azza wa Jalla dengan hikmah-Nya menetapkan agar umat ini tetap memiliki pengingat di masa yang semakin jauh dari zaman kenabian. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda: “Tidaklah bergulir waktu untuk umat ini kecuali keadaan berikutnya lebih buruk daripada sebelumnya.” (HR. Bukhari)

Ini menunjukkan bahwa ketika ilmu semakin sedikit, ilmu hadits yang hampir punah harus diperjuangkan, dibumikan, dan disosialisasikan agar kaum muslimin memahami pentingnya ilmu ini. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu pernah berkata: “Kalian harus saling mengingatkan, saling mempelajari, dan mengulang ilmu ini (ilmu hadits). Jika kalian tidak melakukannya, maka ilmu ini akan sirna.”

Tidak hanya ketidaktahuan yang menjadi ancaman, tetapi juga sikap sebagian orang yang merasa tidak membutuhkan ilmu hadits atau enggan mengenal para ulama yang berjasa dalam menyebarkan hadits. Sebagian orang bahkan ingin segalanya instan, tanpa mempelajari dalil-dalilnya.

Inilah pentingnya sanad, riwayat, dan rantai periwayatan yang menjaga keaslian hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Penegasan Para Ulama Pentingnya Sanad dan Ilmu Hadits

Imam Muslim meriwayatkan sebuah perkataan dari Muhammad bin Sirin Rahimahullah, seorang ulama tabi’in yang wafat pada tahun 110 Hijriah. Beliau termasuk ulama yang banyak meriwayatkan dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.

Di sini, Imam Muslim menyebutkan tiga jalur sanad dari Muhammad bin Sirin:

  1. Sanad Pertama:
    Diriwayatkan kepada kami oleh Hasan bin Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Hammad bin Zaid, dari Ayyub dan Hisyam, dari Muhammad bin Sirin.
  2. Sanad Kedua:
    Diriwayatkan kepada kami oleh Fudhail, dari Hisyam, dari Muhammad bin Sirin.
  3. Sanad Ketiga:
    Diriwayatkan kepada kami oleh Mukhlad bin Husain, dari Hisyam, dari Muhammad bin Sirin.

Teks Hadits:

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini (ilmu hadits) adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”

Metode Imam Muslim dalam menyusun sanad sangat efisien. Jika ada sebuah hadits yang diriwayatkan melalui tiga jalur sanad, beliau tidak menyebutkan masing-masing jalur secara penuh dari gurunya hingga kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagai gantinya, beliau menggunakan ha’ (ح) tahwil (pemindahan sanad) untuk merangkum sanad dari beberapa guru ke dalam satu penjelasan.

Metode ini menunjukkan bahwa ilmu hadits memiliki sistematika yang rapi dan teliti, sehingga memudahkan para ulama dan pelajar untuk memahami serta memastikan keabsahan sebuah riwayat.

Disebutkan, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama.” Yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu hadits. Maka, seseorang harus memperhatikan dari siapa ia mengambil ilmunya. Jika tidak peduli atau tidak disiplin dalam memilih guru dan sumber ilmu, maka agama kalian adalah taruhannya. Agama adalah sesuatu yang berat dan harus dijaga dengan benar.

Umur manusia terbatas, dan dengan kemampuan yang juga terbatas, kita harus bijaksana dalam menentukan apa yang kita pelajari dan dari siapa kita mengambil ilmu. Jika tidak, akibatnya sangat berbahaya karena yang menjadi taruhan adalah agama kita.

Para ulama terdahulu sangat memperhatikan riwayat yang mereka terima. Jika sebuah riwayat tidak memiliki sanad yang jelas, maka riwayat tersebut dianggap tidak memiliki asal-usulnya atau tidak ada sanadnya. Sanad adalah jaminan bahwa suatu riwayat bisa dipertanggungjawabkan.

Pada masa para ulama, seperti di zaman Imam Bukhari, Yahya bin Ma’in, Imam Ahmad, atau sebelumnya seperti Imam Abu Ashim An-Nabil, sanad sangatlah penting. Para ulama abad pertama hingga abad kedua melanglang buana untuk mencari hadits dengan sanad yang jelas. Mereka melakukan perjalanan jauh, dari satu negeri ke negeri lain, untuk memastikan keabsahan hadits.

Mereka menilai guru-guru perawi hadits, bagaimana hafalan mereka, dan karakter mereka. Setelah yakin, mereka menuliskan hadits tersebut dalam buku-buku mereka. Contohnya:

  • Imam Bukhari, yang meninggal pada tahun 256 Hijriah.
  • Imam Muslim, yang wafat tahun 261 Hijriah.
  • Ashabus Sunan, seperti:
    • Abu Dawud (275 H)
    • At-Tirmidzi (273 H)
    • An-Nasa’i (303 H).

Setelah hadits-hadits tersebut dibukukan, kaum muslimin dapat mengetahui jalur periwayatannya dengan jelas. Misalnya, kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim telah diakui oleh para ulama sebagai kitab hadits yang paling shahih setelah Al-Qur’an.

Hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Hal ini karena perjuangan para ulama dalam menyusun buku-buku tersebut sangat luar biasa. Kaum muslimin pun merasa tenang dengan keshahihan hadits yang terdapat di dalamnya, karena sanadnya dapat dipertanggungjawabkan.

Pentingnya Mempelajari Sanad

Mempelajari sanad tetap memiliki manfaat besar, meskipun tidak sebesar ketika hadits-hadits belum disusun dalam bentuk kitab. Dahulu, ketika hadits belum dibukukan, para ulama menghafal dan melakukan perjalanan jauh untuk memastikan keabsahan sebuah hadits. Pada masa itu, kebutuhan akan sanad sangat penting.

Namun, seiring berjalannya waktu, kebutuhan ini mulai berkurang karena para ulama telah mulai menyusun kitab-kitab hadits. Contohnya:

  • Al-Hakim yang menulis Al-Mustadrak dan meninggal pada tahun 405 Hijriah.
  • Al-Baihaqi, wafat pada tahun 458 Hijriah.
  • Ibnu Abdil Bar, meninggal tahun 463 Hijriah.

Kitab-kitab ini disusun dengan sanad yang lengkap sehingga kebutuhan untuk mengetahui keabsahan hadits sering kali sudah terwakili oleh kerja keras para ulama pada masa itu.

Meskipun kebutuhan akan sanad berkurang, bukan berarti sanad kehilangan manfaatnya. Hingga saat ini, masih banyak orang yang mempelajari sanad, bahkan berusaha mendapatkan sanad tersebut. Ini adalah bagian dari sunnah atau kebiasaan para ulama salaf dalam mempelajari hadits.

Seorang muslim bahkan bisa memiliki sanad yang menghubungkan dirinya hingga ke Imam Bukhari dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun, kaum muslimin umumnya lebih berpedoman pada kitab-kitab hadits yang sudah terpercaya, seperti Shahih Bukhari. Ketika mereka ingin mengamalkan sebuah ibadah, mereka akan mencari hadits yang terdapat dalam kitab tersebut dan lebih mengutamakan sanad yang dimiliki oleh Imam Bukhari hingga kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54755-pentingnya-ilmu-sanad-dalam-menjaga-keotentikan-hadits/